Indonesia dan Malaysia menyepakati kerjasama yang lebih erat untuk memerangi diskriminasi terhadap komoditas CPO kedua negara ke Uni Eropa. Kesepakatan tersebut dicapai dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (9/1/2023). Indonesia bersama Malaysia saat ini merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.
Melansir Reuters, pernyataan Jokowi tersebut disampaikan setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Indonesia merupakan negara pertama yang Anwar Ibrahim kunjungi setelah dia resmi diangkat sebagai perdana menteri Malaysia pada November lalu. Jokowi mengatakan, kedua negara akan memerangi diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit dan memperkuat kerja sama melalui Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit untuk mengatasi masalah tersebut.
Uni Eropa berencana menghapus bahan bakar berbasis minyak kelapa sawit secara bertahap pada tahun 2030 karena dianggap memicu terjadinya deforestasi. Mengutip Kompas.com, sudah menjadi rahasia umum, negosiasi Indonesia dengan Uni Eropa terkait dengan impor komoditas, seperti Crude Palm Oil (CPO), kerap mengalami hambatan. Bisa dikatakan, ekspor CPO ke Uni Eropa merupakan isu lama yang tidak kunjung menemukan titik temu.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto memiliki saran terkait hal ini. Dia menekankan, jika memang negosiasi yang dilakukan selalu alot, ada baiknya jika negara tujuan ekspor CPO RI dialihkan ke negara importir lainnya. Sebut saja China, India, Bangladesh, ataupun Pakistan. Menurut Eko, Uni Eropa bukanlah merupakan negara pengimpor CPO utama dari RI.
“Sebetulnya kalau secara umum, ini kan isu lama, memang dari dulu cara Eropa menggunakan kebijakan non tariff barrier nya itu adalah isu deforestasi. Eropa bukan pasar utama kita, sebetulnya tinggal kita alihkan saja, ke negara lain yang bisa menerima produk Indonesia,” kata Eko kepada Kompas.com, Kamis (29/12/2022). Eko mengatakan, kebijakan Uni Eropa yang melarang impor CPO dinilai menyumbang potential loss yang cukup besar, yakni senilai Rp 44 triliun. Dia menambahkan, dalam beberapa diplomasi yang dilakukan, Eropa selalu mempertahankan pendapatnya, dan sulit untuk dimenangkan.
Dia menjelaskan, cara yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah mendekati 1 2 negara negara (Uni Eropa) yang memang memiliki ketergantungan besar terhadap minyak nabati. Dengan cara ini, akan lebih mudah untuk melancarkan ekspor komoditas RI. “Beberapa duta besar kita sudah melakukan upaya untuk mendekati negara Uni Eropa, seperti Swiss misalnya. Jadi tidak langsung ke Uni Eropa, karena akan menjadi kesepakatan besar, dan jika 1 2 negara tidak setuju maka akan mempengaruhi negara lain,” lanjutnya.
Laporan Barratut Taqiyyah Rafie | Sumber: